Melihat sepak terjang Wakil Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama dua minggu terakhir memang sangat menarik dan menghibur. Media seakan tak pernah bosan untuk meliput segala ucapan dan tindakan Ahok, terlebih pasca pengunduran dirinya sebagai kader Gerindra. Perlawanan Ahok terhadap Gerindra tentang pemilihan kepala daerah lewat DPRD menimbulkan gejolak sendiri dimasyarakat. Rakyat disuguhkan dengan drama terbaik yang mempertontonkan karakter asli dari para tokoh yang terlibat. Secara tidak langsung, rakyat telah diberikan pendidikan politik yang sangat berharga. Rakyat kini mengerti betapa besar peran mereka dalam menentukan nasib bangsa. Dan akibatnya, rakyat secara spontan ikut aktif menyuarakan pendapatnya apabila terjadi penolakan atas pengambilan keputusan-keputusan yang berdampak luas terhadap kelangsungan hidup masyarakat kedepannya.
Fenomena ini adalah salah satu dari rangkaian peristiwa-peristiwa unik bersejarah yang tak pernah terjadi sebelumnya. Kita semua tahu bahwa Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 bener-benar telah menunjukkan efek domino terhadap sistem politik dan ketatanegaraan negara. Setelahnya, muncul figur-figur reformis demokrasi yang mampu mendobrak tembok pembatas antara pejabat dan rakyat. Sikap apatis rakyat terhadap para pejabat dan politikus semakin berkurang seiring dengan berkembangnya harapan bahwa masih ada pejabat yang benar-benar peduli pada kesejahteraan rakyat dan berusaha merealiasikan janji-janji politik semasa kampanye dengan sepenuh hati. Rakyat yang merasa lebih dekat dengan pemimpinnya secara emosional otomatis tergerak untuk mendukung dan menyukseskan kebijakan-kebijakan yang di ambil pemimpinnya. Mereka yakin kalau pemimpin mereka tengah berkerja dan berjuang mati-matian agar aspirasi mereka terpenuhi.
Pasca pilpres banyak yang mengklaim bahwa rakyat kini tengah terbelah dan terkotak-kotak antara kubu No. 1 atau kubu No. 2. Tapi sebenarnya tak ada ketegangan berlebih pasca kubu No. 2 di sahkan oleh MK. Rakyat kembali ke kehidupan sebelumnya. Tak ada silang sengketa apalagi pertikaian dan perang dingin yang sering diberitakan dimana-mana.
Suasana yang kembali menegang itu tak lebih hanya karena kekecewaan dan kekesalan kubu yang kalah pilpres kemarin. Mereka tak segan memeras otak demi menciptakan ide-ide licik dalam upaya menghambat kelangsungan masa pemerintahan presiden yang baru. Puncaknya adalah ketika Koalisi Merah Putih mencoba mengubah sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Segala dalil dari sudut pandang hukum dan agama mereka keluarkan untuk membenarkan tindakan mereka. Tapi rakyat tahu, rakyat sedang menilai siapa yang tulus bekerja untuk rakyat dan siapa yang sedang memakai topeng bermuka manis yang hanya memikirkan segelintir orang saja.
Sikap Ahok yang terang-terangan menyatakan berseberangan dengan Partai Gerindra sebagai partai pengusungnya menjadi wagub DKI Jakarta menimbulkan banyak tanggapan positif dari masyarakat. Penyataan beliau yang hanya ingin menjadi budak rakyat mampu membangkitkan people power perlawanan rakyat atas kesewenang-wenangan pejabat. Kini rakyat yang ada di belakang Ahok, siap membela Ahok melawan tirani mayoritas.
Ada yang bilang kalau sikap politik Ahok yang berbeda dengan Partai Gerindra hanyalah bagian dari manuver-manuver politik Ahok untuk Oktober atau 2017. Ahok memang menjadi salah satu kandidat terkuat untuk pos Menteri Dalam Negeri kabinet Jokowi-JK, tapi itu tak lantas membenarkan dugaan tersebut.
Sikap Ahok menolak pilkada lewat DPRD sangat mungkin muncul dikarenakan alasan perbedaan ideologi. Ahok merasa bahwa Gerindra tak konsisten dengan politik yang mengandalkan rekam jejak. Sah-sah saja memang Ahok menolak ide pilkada lewat DPRD dengan keras. Itu adalah prinsip dasar orang yang jujur. Nuraninya pasti memberontak apabila dia membiarkan begitu saja undang-undang yang berpotensi besar menyuburkan aksi KKN dan suap-menyuap di kalangan elite politik.
Ahok sering bilang kalau tujuan dia berpolitik adalah untuk membantu dan memperjuangkan hak-hak orang miskin. Ahok tahu kalau orang miskin tak punya kekuatan apa-apa untuk melawan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan jabatan. Dengan pengalamannya yang seringkali merasakan diskriminasi, Ahok pasti paham betul rasanya tersisihkan.
Berpartner dan berteman dengan Jokowi selam dua tahun lebih, tentu membuat Ahok memiliki kedekatan personal yang erat dengan Jokowi. Kita tentu sering melihat statment-statment 'galau' Ahok waktu pilpres kemarin. Ahok berada dalam posisi terjepit di antara dua orang yang cukup berjasa dalam kariernya. Ahok sadar kalau pilihannya kepada salah satu kubu pasti akan mengakibatkan pihak lain tersakiti. Tapi untuk hal ini, Ahok cukup bijak untuk memberikan dukungannya pada Prabowo-Hatta. Ahok tahu kalau Jokowi akan mengerti. Dia tak akan marah dan pasti menghormati apapun pilihan politik Ahok.
Pada salah satu wawancara, bahkan Ahok pernah mengungkapkan kalau memilih antara Prabowo dengan Jokowi sama saja dengan disuruh memilih antara istri resmi dan selingkuhan. Ketika ditanya lebih lanjut siapa yang istri resmi, Ahok menjawab gamblang kalau dia secara resmi adalah kader Gerindra. Mendengar pernyataan Ahok, presenter tersebut mencecarnya dengan bertanya tentang alasan Ahok menjadikan Jokowi 'selingkuhan'. Dengan terus terang Ahok menjawab, kalau secara personal dia merasa lebih dekat dengan Jokowi. Komunikasi intens dan pertemuan rutin yang akrab, membuat Ahok merasa kalau dia telah menemukan 'seseorang yang lebih cocok'.
Pertemuan Ahok dengan Prabowo pun boleh jadi sangat jarang terjadi. Ahok bilang kalau pertemuannya dengan Prabowo seringkali hanya berupa pertemuan formal antara Dewan Pembina dan kadernya saja. Kalau melihat fakta diatas, tidak salah memang kalau banyak yang meragukan loyalitas Ahok pada Gerindra. Banyak yang menyangsikan bahwa Ahok benar-benar mencoblos Prabowo di bilik suara 9 Juli kemarin. Biar bagaimana pun, Ahok tak bisa benar-benar menyakiti Jokowi yang lebih dia anggap sebagai temannya. Tanpa menafikan peran Gerindra, Ahok sadar kalau berkat Jokowi lah dia bisa menduduki jabatan DKI2.
Sebagai seorang teman, Ahok tahu betul karakter Jokowi. Sikap Jokowi yang selalu tulus dan jujur membuat Ahok, yang begitu kaku terhadap konstitusi, mau tak mau menjadi luluh. Kita tentu bisa melihat sendiri betapa seringnya Ahok memuji bosnya itu. Prinsip mereka adalah bagi kerja, Jokowi selalu meyakinkan Ahok kalau tak ada satu pun alasan untuk membuat mereka harus bersaing. Mereka berdua sama-sama yakin, kalau tanpa adanya kepentingan, mereka tak akan mungkin bentrok. Hal ini lah yang membuat hubungan mereka selalu baik-baik saja. Perbedaan pendapat selalu mereka selesaikan bersama tanpa perlu mengumbar statement saling menjatuhkan di muka publik.
Salah satu kelebihan Jokowi adalah Jokowi tak pernah menganggap seseorang lebih rendah kedudukannya darinya. Tak heran, kalau dia memperlakukan Ahok benar-benar sebagai wakil bukan sebagai ban serep yang biasa terjadi sebelumnya. Jokowi seringkali membiarkan Ahok memutuskan kebijakan. Dengan sering mendapat kepercayan besar, Ahok jadi merasa benar-benar dibutuhkan. Kemampuan problem solving Ahok berkembang bersama Jokowi. Hal yang tak akan pernah terjadi bila bersama orang lain.
Wajar bila Ahok takut kehilangan Jokowi dan tak rela jika Jokowi 'meninggalkan' dia sendiri di Ibukota. Kita tentu pernah dengar salah satu statement Ahok yang seolah-olah menyatakan kalau dia benar-benar takut kehilangan Jokowi. Ahok tahu kalau sangat sulit mencari orang jujur dan sejalan dengannya untuk menegakkan kontitusi. Terlebih, Jokowi juga bukan tipe orang yang gila jabatan dan penghargaan. Jokowi tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri di depan publik apalagi mengklaim pikiran mereka berdua sebagai usaha pribadi.
Walaupun Ahok tak rela Jokowi pergi, tapi Ahok tak punya kuasa untuk menahan keinginan bosnya. Jokowi telah mendapat mandat dari Megawati untuk menjadi (calon) presiden atas desakan dari rakyat. Ahok tahu kalau Jokowi kini milik Indonesia yang ingin meminangnya. Ahok tentu berharap untuk bisa bersama lebih lama dengan Jokowi. Tapi kemudian keinginannya itu terbentur dengan sikap politik partai. Ahok tentu tak rela 'bercerai' begitu saja dengan Jokowi. Karenanya, tak heran kalau Ahok terlihat enggan mengkampanyekan Prabowo. Itu semua terjadi karena Ahok terlihat gerah dengan cara partainya menjatuhkan Jokowi. Tak jarang, Ahok justru sering pasang badan membela Jokowi dengan meng-counter serangan-serangan verbal dari kubu No. 1.
Pembelaan-pembelaan Ahok yang terlihat cerdas dan logis seringkali membuat kampanye hitam yang diarahkan ke Jokowi berbalik arah. Akibatnya timbul simpati rakyat pada Jokowi secara meluas. Mungkin itulah salah satu hal yang membuat Kubu No. 1 berang dan ingin menyingkirkan Ahok. Mereka sadar betul, kalau Ahok mempunyai kemampuan untuk membentuk opini publik. Mereka tentu tak ingin citra mereka di masyarakat hancur berantakan. Tapi, lagi-lagi Ahok tidak bodoh. Ia tahu bahwa ia sudah lama tak sejalan dengan kebijakan partai politik pengusungnya. Dia sadar bahwa cepat atau lambat surat pemecatan akan segera dia terima. Dan begitu isu pilkada bergulir, terlebih pilkada lewat DPRD tak sesuai nuraninya, Ahok langsung mengeksekusinya.
Setelah Jokowi resmi ditetapkan sebagai Presiden terpilih oleh MK, tentu Ahok tak ingin hubungannya dengan Jokowi berakhir begitu saja. Ahok ingin agar Jokowi tetap bersamanya menyelesaikan persoalan-persoalan pelik Ibukota lewat kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah. Ahok sadar kalau kemungkinannya sangat kecil Jokowi akan membantunya sementara Gerindra tak henti-hentinya mencoba merongrong pemerintahannya. Ahok tahu, hanya dengan meninggalkan Gerindra lah, hubungannya dengan Jokowi dapat tetap terjaga. Tanpa partai, Ahok menjadi pejabat bebas tanpa beban politik yang mengganjal. Dengan melihat perkembangan politik saat ini, tinggal menunggu waktu saja kapan kira-kira kita akan melihat lagi Jokowi-Ahok jilid II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar