Bagi sebagian orang, menangis dan berbagi kesedihan dengan orang terdekat adalah hal yang mungkin sangat biasa dilakukan. Bisa sama siapa aja. Orangtua, sahabat ataupun pacar contohnya. Tapi bagi gue, itu hal yang sangat sulit dilakukan.
Kata ibu, gue itu orangnya sangat amat nggak romantis. Susah banget yang namanya mengutarakan isi hati bahkan sama orang-orang yang paling dekat. Daripada ngucapin kata-kata manis ataupun kasih sayang, gue lebih suka ngucapin hal yang berlainan dari apa yang ingin gue ucapin. Hmm contohnya yaa, yang paling sering sih ibu gue selalu nanya, “Kakak sayang nggak sih sama ibu?”. Dan kalian tau kan jawaban gue. Gue langsung jawab “NGGAK!” pake nada nyolot. Ibu gue sih senyum-senyum aja, karena dia tahu jawaban yang sebenernya. Jawaban yang nggak akan pernah diucapin orang model gue, jawaban dari orang yang paling nggak romantis di dunia.
Mungkin karena karakter gue yang “lain di mulut, lain di hati” ini yang bikin gue cuma punya sedikit banget orang-orang terdekat. Yah selain mereka mungkin nganggep gue anti-sosial, tentunya.
Gini yaa… Sebenernya gue tuh bukan anak ansos kok. Gue cuma agak nggak nyaman aja dengan terlalu banyak orang. Gue suka bareng-bareng sama yang lain, tapi gue nggak suka lama-lama. Dan selain itu, gue tipe orang yang lebih nyaman dirumah. Dengerin musik, nonton film, baca novel, tidur… apapun hal-hal yang bagi gue menyenangkan bisa gue lakuin dirumah.
Gue mungkin dianggap sombong karena jarang mau mulai komunikasi sama yang lain, selain karena tugas tentunya. Tapi kalo gue pikir lagi, keengganan gue untuk terlalu bergaul sama temen-temen yang lain dikampus, mungkin lebih karena gue takut. Bukan karena takut uluran persahabatan gue nggak diterima karena sikap gue yang kurang membaur. Mereka nggak sejahat itu kok, baik banget malah. Tapi karena gue takut, ketika gue udah membuka hati dan mereka menerima gue, gue bakalan terus bergantung sama kebaikan mereka dan terus mengharap bantuan dan pertolongan mereka dengan alasan pertemanan.
Hidup gue selama ini selalu mengajarkan kalo “bergantung” dan “berharap” sama orang lain bukan hal yang baik buat bertahan. Gue udah cukup sering melihat yang namanya penipuan dan kekecewaan. Dan dari semua yang gue lihat, yang paling menyakitkan adalah harapan yang hancur oleh orang terdekat yang paling kita percayai, yang seharusnya menjadi tempat kita bergantung. Karena itulah gue bikin dinding disekitar ini gue. Sikap cuek dan kurang peduli adalah pertahanan gue. Dinding ini yang membuat gue harus lebih mempercayai diri gue sendiri.
Gue sering bilang sama diri gue sendiri untuk jangan terlalu peduli sama orang lain, toh kalo masalah apapun pada akhirnya gue sendiri yang nyelesain atau yang paling buruk gue sendiri yang menanggung akibatnya. Sugesti yang berulang-ulang dalam waktu lama itu yang mungkin membuat gue jarang bersimpati sama masalah dan nasib buruk orang lain. Gue selalu berpikir, sama seperti gue, mereka juga pasti bisa melewati semuanya dengan baik tanpa perlu bantuan siapapun. Mungkin itu yang membuat rasa “inisiatif membantu” gue terkubur selama belasan tahun.
Gue akui gue emang punya kepedulian sosial yang sangat minim, hampir nol malah. Tapi bukan berarti sikap gue yang acuh juga berlaku dirumah. Seperti gue bilang diatas. Gue bukan orang yang bisa berkata-kata manis, tapi gue juga bukan orang yang dingin dan cuek sama keluarga. Kalian mungkin berpikir gue berasal dari keluarga broken home, anak yang terlantar dari orang tua yang bercerai atau sebagainya. Tapi gue nggak begitu. Sampe saat ini orang tua gue rukun-rukun aja tuh, yaa setidaknya nggak ribut mulu walaupun bokap gue agak keras.
Yahh mungkin karena itu, gue nggak terlalu deket ama bokap. Kata ibu, gue sama bokap terlalu mirip. Sama-sama api, katanya. Tapi gimana pun hubungan gue sama bokap, gue deket banget sama ibu dan adek gue. Bersama mereka, gue bisa jadi diri anak remaja biasa yang tertawa bebas dan bercanda seharian. Karena itu gue nggak pernah nggak bersyukur ketika libur. Ketika gue punya sedikit uang, gue sering menghabiskannya dengan mereka berdua. Jalan-jalan, makan, jajan… rasanya seneng banget ketika gue bisa memberikan mereka sedikit hiburan dengan uang gue sendiri.
Balik lagi soal kesedihan, gue yang nggak pernah nangis di depan siapapun bukan berarti gue nggak punya kesedihan dan luka hati. Ada saatnya gue menangis dengan membekap mulut biar tangisan gue dimalam hari nggak kedengeran sama siapapun. Bahkan sama ibu dan adik, gue nggak pernah siap untuk menceritakan semua masalah yang gue punya. Gue cuma ingin terlihat tegar dan kuat dengan nggak menangis, karena gue sadar sekeras apapun gue menangis, masalah apapun yang gue hadepin nggak akan terselesaikan dalam sekejap. Selain itu gue takut mereka merasa khawatir ataupun merasa bersalah karena nggak bisa membantu. Mungkin lebih cocok gue bilang kalau gue takut membebani ibu.
Karena itu gue nggak pernah menyesal menjadi pribadi yang dibilang orang anti sosial. Tapi kalo boleh milih, gue lebih suka disebut introvert. Alasannya? Simple. Karena lebih keren. Tapi yaa, apapun namanya gue nggak terlalu ambil pusing. Selama gue punya dua orang yang gue sayang, waktu untuk sendiri, handphone, dan DVD, menjadi anti sosial ataupun introvert, gue bersyukur karena gue bisa bahagia dengan cara yang paling sederhana.