Sudah lebih dari seminggu Basuki Tjahaja Purnama dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta ke-16 periode 2014-2017. Pria yang akrab dipanggil Ahok ini dilantik saat dua kubu KMP dan KIH di DPRD DKI Jakarta tengah berseteru terkait payung hukum yang sebaiknya digunakan. Kubu KMP yang dimotori H. Lulung dan M. Taufik terang-terangan menolak pelantikan Ahok karena menurut mereka seorang wakil gubernur tidak otomatis menggantikan posisi gubernur bila sang gubernur berhalangan tetap. Mereka juga meminta pada Mendagri agar tidak segera melantik Ahok dengan dalih menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA).
Dengan tafsiran hukum sepotong-potong yang coba digunakan KMP, rupanya Presiden Joko Widodo tak bergeming dan tetap bulat tekad untuk melantik Ahok secepatnya. Tidak main-main, Jokowi bahkan menyempatkan waktu untuk melantik sendiri Ahok di Istana Merdeka. Hal yang unik sebenarnya, bahkan mungkin istimewa. Sebelumnya, hanya Gubernur Ali Sadikin yang pernah dilantik di Istana dan hanya Sultan HB saja yang pernah dilantik langsung oleh Presiden tanpa melalui perantara Mendagri. Meskipun beralasan pelantikan Ahok di Istana karena sesuai amanat Perppu yang mengharuskan Gubernur dilantik di Ibukota, banyak yang berpikir pelantikan bisa dilakukan dimana saja dan tidak harus di Istana Merdeka contohnya di Gedung DPRD DKI.
Keistimewaan ini semakin memberi kesan kalau Jokowi masih peduli dan akan benar-benar men-support Ahok untuk menyukseskan program-programnya dalam rangka membenahi Jakarta. Ini membuktikan bahwa Jokowi tidak begitu saja lepas tangan meninggalkan tanggung jawab dan janji-janjinya yang belum sempat terealisasi. Jokowi tentu sudah sangat yakin dengan kemampuan Ahok mengelola Ibukota melihat besarnya dukungan yang dia berikan melalui tangan-tangan Menteri di Kabinet Kerja. Jokowi melakukan itu, karena Jokowi sangat yakin kalau Ahok orang yang mampu bekerja dan dapat dipercaya.
Jokowi dan Ahok seolah tak terganggu dengan status 'Presiden' yang kini Jokowi miliki. Kita masih bisa lihat sendiri bagaimana hubungan persahabatan mereka. Kita menyaksikan sendiri di Mata Najwa edisi Merayakan Indonesia bahwa tak ada rasa sungkan bagi mereka berdua untuk bercanda dimuka umum. Ahok bahkan berani meledek jam makan dan tubuh kurus Jokowi didepan umum dengan blak-blakan yang membuat semua hadirin tertawa, termasuk Jokowi yang bahkan termasuk yang paling geli ketawanya.
Melihat hubungan mereka, tak heran kalau ada yang menganggap kalau kesetiaan Ahok yang sebenarnya itu justru berada dalam sosok Jokowi, bukan dalam ideologi partai manapun saat ini. Dalam diri Jokowi, terdapat ketegasan dalam bertindak yang tidak ada dalam diri orang lain. Selain itu, Jokowi juga konsisten dengan politik tidak bagi-bagi kursi yang jarang dilakukan orang. Jokowi adalah bukti nyata kalau rakyat kecil juga bisa berkuasa dan melawan kesewenang-wenangan yang selama ini Ahok perjuangkan dengan penegakan hukum yang adil. Tak heran kalau kedepannya apapun keputusan Jokowi, pasti akan Ahok dukung.
Membenahi Jakarta memang bukan perkara mudah. Butuh komunikasi politik yang baik agar kota-kota penyangga Ibukota seperti Depok dan Bekasi mau bekerjasama menyelesaikan masalah yang ada. Depok, misalnya, tentu punya masalah sendiri yang harus diselesaikan ketimbang membantu DKI mengatasi banjir. Semua kepala daerah punya kepentingan dan agenda politik sendiri-sendiri disamping ingin memajukan daerahnya masing-masing. Tentu ini masalah tersendiri bagi Ahok yang saat ini tidak punya dukungan politik dari partai manapun. Terlebih, entah nasib sial Ahok atau tidak, kepala daerah dari kota-kota penyangga DKI Jakarta hampir semua berasal dari KMP. Walikota Depok yang berasal dari PKS, misalnya, tentu enggan membantu Ahok yang jelas-jelas sudah mengalahkan HNW di pilgub DKI dulu. Harus ada campur tangan pihak ketiga agar pemerintahan di daerah tidak berjalan sendiri-sendiri.
Untuk itulah Jokowi merasa perlu turun tangan agar kepala daerah tidak bersikap egois dan saling bekerja sama dan tidak saling sikut adu kepentingan. Tak kenal, maka tak sayang. Mungkin itu yang menginspirasi Jokowi untuk mengadakan pertemuan rutin antarsesama kepala daerah tiap bulannya. Tujuannya jelas yaitu agar kepala daerah yang satu dengan yang lain bisa akrab disamping memperkuat hubungan antara pusat dengan daerah.
Ditengah hubungan mesra Jokowi-Ahok, saat ini justru terjadi kisruh antara petinggi PDIP dengan Ahok terkait orang yang berhak mengisi posisi Wagub DKI. Tjahjo Kumolo dan sejumlah elite PDIP lainnya mengklaim kalau Megawati telah menunjuk Boy Sadikin sebagai orang yang akan menduduki posisi Wagub. Tak salah memang kalau PDIP merasa berhak mengisi jabatan wagub setelah dukungan politik yang besar ketika kisruh pelantikan Ahok kemarin. Tapi masalahnya, hal ini bertentangan dengan Ahok yang menginginkan Wagub dari orang nonpartai.
Mendengar penolakan Ahok, Ahmad Basarah, salah satu Sekjen PDIP bahkan mengancam akan menarik dukungan politik Ahok diparlemen. Ahok tentu berada dalam posisi dilema saat ini. Dahulu, Ahok cuek dengan dukungan DPRD DKI karena dia masih punya Jokowi, teman seperjuangan yang saling membantu menghadapi serangan lawan dan taktik adu domba. Tapi sekarang Ahok sendiri, dukungan politik PDIP tentu akan sangat berguna untuk program dia kedepan. Beruntung, Jokowi sangat menghormati keputusan Ahok dengan tidak ikut campur untuk intervensi Wagub DKI ini. Setidaknya Ahok lega untuk satu hal. Kalaupun PDIP akhirnya memusuhi dia layaknya Gerindra, toh dia masih punya satu orang yang siap untuk mendukungnya dalam kondisi apapun. Orang yang merupakan teman sekaligus bosnya yang kini tinggal di Merdeka Utara, Joko Widodo.