FF atau fanfic ini hanya untuk tujuan hiburan semata. Tidak ada maksud untuk hatespeech terhadap pihak manapun.
Enjoy this fanfiction !! ^^
Chapter 1 : Coretan selama debat
Seperti Sherlock yang bahagia menjadi
high functioning sociopath, Ahok juga memiliki alasan untuk memilih menikmati
apa saja yang terjadi saat ini. Dia sangat bahagia jika ada yang bertanya
tentang keadaannya. Kasus ini, sekuat apapun mereka mencoba, mereka terlihat
tak akan bisa menjatuhkan atau melemahkan semangatnya menjadi Gubernur DKI
Jakarta lagi untuk lima tahun ke depan. Dia tidak terlalu peduli dengan uang
atau kekuasaan yang dimiliki dengan posisi seorang kepala daerah Ibukota
Negara. Bagi seorang Ahok, yang terpenting baginya dengan memenangkan pilkada
ini adalah, dengan menjadi seorang gubernur, dia selalu bisa dekat dengan Joko
Widodo. Karena dulu dia telah membuat janji dan dia akan menepatinya apapun
yang terjadi.
Ahok PoV
13 Januari 2017
Mungkin kalian akan bilang aku sombong
kalau aku berkata debat mungkin adalah keahlianku, selain marah-marah tentunya.
Tapi marah mungkin lebih tepat didefinisikan sebagai hobi ketimbang keahlian
sebenarnya. Hobi yang menyusahkan kalau boleh dibilang. Bagaimana tidak? Karena
hobiku ini, mungkin ada ratusan orang yang sakit hati padaku dan mendoakanku
agar kalah di pilkada maupun di pengadilan.
Aku tidak masalah dengan hal itu karena
jujur saja, aku pernah mengalami hal yang lebih buruk ketimbang hanya sekedar doa
dan sumpah serapah. Bayangkan saja jika kalian berada di teras depan rumah dan
kalian menemukan surat kaleng berisi segala macam barang aneh dan selembar
kertas berisi ancaman akan disantet. Kalau kalian menganggap itu mengerikan,
kalian harus memberi applause kepadaku. Karena, ya, itu adalah hal yang kualami
dulu saat hendak menjabat sebagai bupati Belitung Timur.
Jadi bisa dikatakan aku ini sudah
hampir kebal dengan berbagai macam serangan verbal dan hal-hal klenik seperti
perdukunan. Bukan karena Ahok sakti, punya dukun jago atau khatam ilmu kebal.
Aku nggak pernah belajar hal-hal seperti itu. Kuncinya sebenarnya satu aja. Eh
dua deh. Satu kan punya sebelah. Pertama, percaya kalau Tuhan pasti selalu
melindungi kita dari segala niat dan perbuatan buruk. Kita pegang ini aja,
percaya deh, sebanyak apapun orang yang ingin menjatuhkan kita, kita pasti akan
selamat. Dan yang kedua adalah selalu ingat dengan tujuan. Dalam hal ini adalah
untuk apa tujuan saya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Sayangnya aku tidak melihat kehadiran
orang yang menjadi tujuanku terjun ke dunia politik selama debat kali ini. Aku
sudah mencarinya sejak aku dan yang lain akan berangkat menuju tempat acara. Saat
acara debat berlangsung pun mataku tidak berhenti melihat ke arah pintu masuk
menunggu kedatangannya.
Aku mengerti bahwa dia adalah seorang
Presiden yang selalu sibuk dengan urusan kenegaraan. Tapi aku hanya meminta
sedikit saja waktunya. Lima menit bahkan lebih dari cukup baginya untuk hadir
dan mengucapkan semangat berjuang.
Kalian mungkin berpikir hubunganku
dengan Joko Widodo hanya sekedar hubungan antara politisi atau hubungan antar
Gubernur dan Wakilnya. Media hanya merekam pertemuan pertama kami lima tahun
lalu saat kami hendak maju Pilkada Jakarta. Tapi kedekatan kami yang
sebenarnya, pertemuan awal kami yang sesungguhnya, sudah berlangsung sejak
lama. Dan hal itulah yang membuatku di debat pertama Pilkada hari ini kesal
sekali sejak tadi. Kesal padanya karena ketidakhadirannya. Dan kesal pada
diriku sendiri karena selalu setia menunggunya.
Dan akibatnya, hampir saja emosiku
meledak saat dipanggung ini. Aku bersyukur masih bisa meredamnya walaupun tidak
sepenuhnya. Well, jangan menganggap aku mencoba menyerang Pak Anies atau
semacamnya. Aku hanya mencoba berbicara saat giliranku dan jujur saja, aku tidak
begitu peduli apa yang paslon lain katakan. Saat itu aku sedang mencoba
meredakan kekesalanku dengan tidak melampiaskannya lewat sindiran ataupun
kata-kata sinis pada paslon lain. Karena timsesku mungkin akan bekerja ekstra
keras jika itu terjadi. Tapi apa mau di kata, saat paslon satu menyebut
kartu-kartu, aku kembali teringat kekesalanku padanya.
Aku menulis banyak catatan saat debat.
Dan kebanyakan adalah segalanya tentang dia seperti dosen, kanada, dan
melupakan janji. Pak Djarot melihat apa yang aku tulis dan aku memperhatikan
wajahnya yang sedikit bingung. Dia jelas tidak tahu apa artinya karena mimik
wajahnya sangat jujur memperlihatkan ketidaktahuaannya. Aku beruntung dia tidak
bertanya lebih lanjut karena aku pun tidak tertarik menjelaskannya pada
siapapun. Tapi jujur saja, aku agak geli melihat ekspresinya itu. Untung aku
berhasil menahan diri untuk tidak tertawa dan hanya mengeluarkan senyum simpul
sebagai gantinya.
Dan aku bersyukur dengan peraturan
debat melarang kamera menyorot apa saja yang para paslon tulis. Paslon lain pun
aku yakin juga lega dengan adanya peraturan itu karena akan sangat memalukan baginya
saat masyarakat mengetahui visi misi hanya berupa hafalan yang perlu ‘contekan’
untuk menjelaskannya. Aku sendiri tidak terlalu mempersiapkan diri dengan debat
ini. Make it flow saja. Aku hanya akan mengatakan apa yang sudah dan apa yang
akan aku lakukan kedepan. Karena itu, aku juga tidak terlalu masalah jika
catatanku saat debat disorot kamera. Karena coret-coretan yang yang ku buat saat
itu hanya tentang dia dan masa lalu kita.