Translate

Minggu, 19 Februari 2017

Obsession - Jokowi Ahok version



FF atau fanfic ini hanya untuk tujuan hiburan semata. Tidak ada maksud untuk hatespeech terhadap pihak manapun.

Enjoy this fanfiction !!  ^^

Chapter 1 : Coretan selama debat

Seperti Sherlock yang bahagia menjadi high functioning sociopath, Ahok juga memiliki alasan untuk memilih menikmati apa saja yang terjadi saat ini. Dia sangat bahagia jika ada yang bertanya tentang keadaannya. Kasus ini, sekuat apapun mereka mencoba, mereka terlihat tak akan bisa menjatuhkan atau melemahkan semangatnya menjadi Gubernur DKI Jakarta lagi untuk lima tahun ke depan. Dia tidak terlalu peduli dengan uang atau kekuasaan yang dimiliki dengan posisi seorang kepala daerah Ibukota Negara. Bagi seorang Ahok, yang terpenting baginya dengan memenangkan pilkada ini adalah, dengan menjadi seorang gubernur, dia selalu bisa dekat dengan Joko Widodo. Karena dulu dia telah membuat janji dan dia akan menepatinya apapun yang terjadi.

Ahok PoV
13 Januari 2017
Mungkin kalian akan bilang aku sombong kalau aku berkata debat mungkin adalah keahlianku, selain marah-marah tentunya. Tapi marah mungkin lebih tepat didefinisikan sebagai hobi ketimbang keahlian sebenarnya. Hobi yang menyusahkan kalau boleh dibilang. Bagaimana tidak? Karena hobiku ini, mungkin ada ratusan orang yang sakit hati padaku dan mendoakanku agar kalah di pilkada maupun di pengadilan.

Aku tidak masalah dengan hal itu karena jujur saja, aku pernah mengalami hal yang lebih buruk ketimbang hanya sekedar doa dan sumpah serapah. Bayangkan saja jika kalian berada di teras depan rumah dan kalian menemukan surat kaleng berisi segala macam barang aneh dan selembar kertas berisi ancaman akan disantet. Kalau kalian menganggap itu mengerikan, kalian harus memberi applause kepadaku. Karena, ya, itu adalah hal yang kualami dulu saat hendak menjabat sebagai bupati Belitung Timur.

Jadi bisa dikatakan aku ini sudah hampir kebal dengan berbagai macam serangan verbal dan hal-hal klenik seperti perdukunan. Bukan karena Ahok sakti, punya dukun jago atau khatam ilmu kebal. Aku nggak pernah belajar hal-hal seperti itu. Kuncinya sebenarnya satu aja. Eh dua deh. Satu kan punya sebelah. Pertama, percaya kalau Tuhan pasti selalu melindungi kita dari segala niat dan perbuatan buruk. Kita pegang ini aja, percaya deh, sebanyak apapun orang yang ingin menjatuhkan kita, kita pasti akan selamat. Dan yang kedua adalah selalu ingat dengan tujuan. Dalam hal ini adalah untuk apa tujuan saya menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Sayangnya aku tidak melihat kehadiran orang yang menjadi tujuanku terjun ke dunia politik selama debat kali ini. Aku sudah mencarinya sejak aku dan yang lain akan berangkat menuju tempat acara. Saat acara debat berlangsung pun mataku tidak berhenti melihat ke arah pintu masuk menunggu kedatangannya.

Aku mengerti bahwa dia adalah seorang Presiden yang selalu sibuk dengan urusan kenegaraan. Tapi aku hanya meminta sedikit saja waktunya. Lima menit bahkan lebih dari cukup baginya untuk hadir dan mengucapkan semangat berjuang.

Kalian mungkin berpikir hubunganku dengan Joko Widodo hanya sekedar hubungan antara politisi atau hubungan antar Gubernur dan Wakilnya. Media hanya merekam pertemuan pertama kami lima tahun lalu saat kami hendak maju Pilkada Jakarta. Tapi kedekatan kami yang sebenarnya, pertemuan awal kami yang sesungguhnya, sudah berlangsung sejak lama. Dan hal itulah yang membuatku di debat pertama Pilkada hari ini kesal sekali sejak tadi. Kesal padanya karena ketidakhadirannya. Dan kesal pada diriku sendiri karena selalu setia menunggunya.

Dan akibatnya, hampir saja emosiku meledak saat dipanggung ini. Aku bersyukur masih bisa meredamnya walaupun tidak sepenuhnya. Well, jangan menganggap aku mencoba menyerang Pak Anies atau semacamnya. Aku hanya mencoba berbicara saat giliranku dan jujur saja, aku tidak begitu peduli apa yang paslon lain katakan. Saat itu aku sedang mencoba meredakan kekesalanku dengan tidak melampiaskannya lewat sindiran ataupun kata-kata sinis pada paslon lain. Karena timsesku mungkin akan bekerja ekstra keras jika itu terjadi. Tapi apa mau di kata, saat paslon satu menyebut kartu-kartu, aku kembali teringat kekesalanku padanya. 

Aku menulis banyak catatan saat debat. Dan kebanyakan adalah segalanya tentang dia seperti dosen, kanada, dan melupakan janji. Pak Djarot melihat apa yang aku tulis dan aku memperhatikan wajahnya yang sedikit bingung. Dia jelas tidak tahu apa artinya karena mimik wajahnya sangat jujur memperlihatkan ketidaktahuaannya. Aku beruntung dia tidak bertanya lebih lanjut karena aku pun tidak tertarik menjelaskannya pada siapapun. Tapi jujur saja, aku agak geli melihat ekspresinya itu. Untung aku berhasil menahan diri untuk tidak tertawa dan hanya mengeluarkan senyum simpul sebagai gantinya. 

Dan aku bersyukur dengan peraturan debat melarang kamera menyorot apa saja yang para paslon tulis. Paslon lain pun aku yakin juga lega dengan adanya peraturan itu karena akan sangat memalukan baginya saat masyarakat mengetahui visi misi hanya berupa hafalan yang perlu ‘contekan’ untuk menjelaskannya. Aku sendiri tidak terlalu mempersiapkan diri dengan debat ini. Make it flow saja. Aku hanya akan mengatakan apa yang sudah dan apa yang akan aku lakukan kedepan. Karena itu, aku juga tidak terlalu masalah jika catatanku saat debat disorot kamera. Karena coret-coretan yang yang ku buat saat itu hanya tentang dia dan masa lalu kita.